9. Merancang Peta Hidup


Dari National Library aku langsung pulang. Di dalam metro aku memaksakan diri membaca dengan seksama pertanyaan-pertanyaan yang diajukan nona Alicia dari Amerika itu. Rasa penasaran mengalahkan perut lapar belum sarapan dan badan yang terasa meriang. Lembar pertama berisi pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan wanita. Tentang beberapa hadits yang dianggap merendahkan wanita. Tentang poligami, warisan dan lain sebagainya. Pertanyaanpertanyaan yang tidak asing namun terus menerus ditanyakan. Pertanyaan yang seringkali memang dipakai oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk mendiskreditkan Islam. Di Barat masalah poligami dalam Islam dipertanyakan. Mereka menganggap poligami merendahkan wanita. Mereka lebih memilih anak puterinya berhubungan di luar nikah dan kumpul kebo dengan ratusan lelaki bahkan yang telah beristeri sekalipun daripada hidup berkeluarga secara resmi secara poligami. Menurut mereka pelacur yang memuaskan nafsu biologisnya secara bebas dengan siapa saja yang ia suka lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan yang hidup berkeluarga baik-baik dengan cara poligami. Untuk semua pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan perempuan aku sudah membayangkan semua jawaban yang aku akan tulis, lengkap dengan sejarah perlakuan manusia terhadap perempuan. Sejak zaman Yunani kuno sampai zaman postmo. Aku ingat bahwa para pendeta di Roma sebelum Islam datang, pernah sepakat untuk menganggap perempuan adalah makhluk yang najis dan boneka perangkap setan. Mereka bahkan mempertanyakan, perempuan sebetulnya manusia apa bukan? Punya ruh apa tidak? Sementara Baginda Nabi sangat memuliakan makhluk yang bernama perempuan, beliau pernah bersabda bahwa siapa memiliki anak perempuan dan mendidiknya dengan baik maka dia masuk surga. Aku tinggal meringkas jawaban yang telah banyak ditulis para sejarawan, cendekiawan dan ulama Mesir. Pertanyaan yang berkaitan dengan perempuan aku anggap selesai. Nanti malam akan aku jawab lengkap dengan data dan dalil-dalil utama dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hadits yang ditanyakan Alicia yang mengatakan katanya Nabi pernah bersabda perempuan adalah perangkap setan adalah bukan hadits. Itu adalah perkataan seorang Sufi namanya Basyir Al Hafi. Sebagaimana dijelaskan dengan seksama dalam kitab Kasyful Khafa. Itu adalah pendapat pribadi Basyir Al Hafi yang kemungkinan besar terpengaruh oleh perkataan para pendeta Roma. Itu bukan hadits tapi disiarkan oleh orang-orang yang tidak memahami hadits sebagai hadits. Bagaimana mungkin Islam akan menghinakan perempuan sebagai perangkap setan padahal dalam Al-Qur’an jelas sekali penegasan yang berulang-ulang bahwa penciptaan perempuan sebagai pasangan hidup kaum lelaki adalah termasuk tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dalam surat Ar Ruum ayat dua puluh satu Allah berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” Jika perempuan adalah perangkap setan atau panah setan bagaimana mungkin baginda nabi menyuruh memperlakukan perempuan dengan baik. Bahkan beliau bersabda dalam hadits yang shahih, “Orang pilihan di antara kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.” 79 Baginda nabi juga menyuruh umatnya untuk mengutamakan ibunya daripada ayahnya. Ibu disebut nabi tiga kali. Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu!. Pada lembaran kedua, Alicia bertanya bagaimana Islam memperlakukan nonmuslim? Bagaimana Islam memandang Nasrani dan Yahudi? Apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, sebab media massa Amerika memandang umat Islam berlaku tidak adil? Bagaimana pandangan Islam terhadap perbudakan? Dan lain sebagainya. Aku teringat sebuah buku yang menjawab semua pertanyaan Alicia ini. Buku apa, dan siapa penulisnya? Aku terus mengingat-ingat. Otakku terus berputar, dan akhirnya ketemu juga. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi yang pernah menjadi sekretaris Grand Syaikh Al Azhar, Syaikh Abdul Halim Mahmud. Aku merasa sebaiknya menerjemahkan buku berjudul Limadza yakhaafunal Islam 80 itu ke dalam bahasa Inggris untuk menjawab pertanyaan Alicia. Supaya Alicia dan orang-orang Barat tahu jawabannya dengan jelas dan gamblang. Supaya mereka lebih tahu begaimana sebenarnya Islam memuliakan manusia. Untuk pertanyaan, apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, yang paling tepat sebenarnya, biarlah umat koptik Mesir sendiri yang menjawabnya. Dan Pope Shenouda pemimpin tertinggi umat kristen koptik Mesir sudah membantah semua tuduhan yang bertujuan tidak baik itu. Pope Shenouda tidak akan bisa melupakan masa kecilnya. Dia adalah anak yatim di sebuah pelosok desa Mesir yang disusui oleh seorang wanita muslimah. Dan wanita muslimah itu sama sekali tidak memaksa Shenouda untuk mengikuti keyakinannya. Wanita muslimah itu mengalirkan air susunya ke tubuh si kecil Snouda murni karena panggilan Ilahi untuk menolong bayi tetangganya yang membutuhkan air susunya. Adakah toleransi melebihi apa yang dilakukan ibu susu Pope Shenouda yang muslimah itu? Dalam sejarah pemerintahan Mesir, pada tanggal 10 Mei 1911 ada laporan kolonial Inggris ke London yang menjelaskan hasil sensus di Mesir. Dari sensus penduduk waktu itu jumlah umat Islam 92 persen, umat kristen koptik hanya 2 persen, selebihnya Yahudi dan lain sebagainya. Pada waktu itu jumlah pegawai yang bekerja di kementerian seluruhnya 17.569 orang. Dengan komposisi 9.514 orang dari kaum muslimin yang berarti 54,69 persen, dan selebihnya dari kaum koptik, yaitu 8.055 orang dan berarti, 45,31 persen. Bagaimana mungkin jumlah umat koptik yang cuma 2 persen itu mendapatkan jatah 45,31 persen di departemen-departemen kementerian. Dan umat Islam mesir tidak pernah mempesoalkan komposisi yang sangat menganakemaskan umat kristen koptik ini. Apakah tidak wajar jika para pendeta koptik ebih dahulu bersuara lantang menolak tuduhan Amerika sebelum Al Azhar bersuara? Ulama-ulama besar dan terkemuka Mesir tidak pernah menyapa umat kristen koptik sebagai orang lain. Mereka dianggap dan disapa sebagai ‘ikhwan’ sebagai saudara. Saudara setanah air, sekampung halaman, sepermainan waktu kecil, bukan saudara dalam keyakinan dan keimanan. Syaikh Yusuf Qaradhawi menyapa umat koptik dengan ‘ikhwanuna al Aqbath’, saudara-saudara kita umat koptik. Sebuah sapaan yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an mengakui adanya persaudaraan di luar keimanan dan keyakinan. Dalam sejarah nabi-nabi, kaum nabi Nuh adalah kaum yang mendustakan para rasul. Mereka tidak mau seiman dengan nabi Nuh. Meskipun demikian, Al-Qur’an menyebut Nuh adalah saudara mereka. Tertera dalam surat Asy Syuara ayat 105 dan 106: ‘Kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata pada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’ Apakah ajaran yang indah dan sangat humanis seperti ini masih juga dianggap tidak adil? Kalau tidak adil juga maka seperti apakah keadilan itu? Apakah seperti ajaran Yahudi yang menganggap orang yang bukan Yahudi adalah budak mereka. Atau ajaran yang diyakini ratu Isabela yang memancung jutaan umat Islam di Spayol karena tidak mau mengikuti keyakinannya? Aku merasa isi buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi harus dibaca masyarakat Amerika, Eropa, dan belahan dunia lainnya yang masih sering tidak bisa memahami ruh ajaran Islam. Termasuk juga masyarakat Indonesia. Tapi aku bimbang, apakah aku punya waktu yang cukup untuk menerjemahkan buku itu. Kontrak terjemahan harus segera aku tuntaskan. Jakarta sedang menunggu naskah yang aku kerjakan. Proposal tesis juga harus segera kuajukan ke universitas. Dan kondisi kesehatan yang sedikit terganggu.

* * *

Metro yang kutumpangi sampai di Hadayek Helwan pukul dua. Panas sengatan matahari semakin kurang ajar dan kurang ajar. Aku keluar mahattah dengan memakai langkah cepat. Di perempatan jalan dekat rental dan toko peralatan komputer Pyramid Com, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Suara yang tidak terlalu asing. Aku menengok ke kanan, ke arah Pyramid Com. Seorang gadis Mesir sambil memegang payung berjalan cepat ke arahku. Aku terus saja berjalan tak begitu mempedulikan dirinya. Sebab udara panas menyengat muka. “Hai Fahri, tunggu, baru pulang ya? Kepanasan? Ini pakai saja payungku nanti kau sakit lagi?”
Gadis Mesir berpipi lesung kalau tersenyum itu telah berhasil mengejar langkahku. Ia berjalan sejajar denganku dan menawarkan payungnya padaku. “Sudahlah Maria, kau jangan berlaku begitu!” sahutku sambil mempercepat langkah. Maria terus berusaha mengimbangi kecepatan langkahku. Ia berusaha memayungi diriku dari sengatan matahari. Beberapa orang Mesir yang berpapasan dengan kami melihat kami dengan pandangan heran. Maria melakukan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan gadis Mesir. Juga tidak akan pernah ada lelaki di Mesir memakai payung untuk melindungi dari sengatan matahari. “Maria, please, hormatilah aku. Jangan bersikap seperti itu!” Maria menarik payungnya dan menggunakan untuk melindungi dirinya. Aku heran sendiri dengan perlakuan puteri Tuan Boutros ini padaku. Mamanya bilang Maria tidak suka didatangi teman-teman lelakinya. Juga tidak suka pergi atau kencan dengan mereka. Tidak suka menerima telpon dari mereka. Tidak bisa mesra katanya, tapi kenapa dia bersikap sedemikian perhatian padaku. Aku merasa ia seolah-olah menunggu kepulanganku di jalan yang pasti kulewati. “Janji sama siapa Fahri, kalau aku boleh tahu?” tanyanya. Aku mempercepat langkah. Jarak apartemen dan mahattah metro sekitar seratus dua puluh lima meter. “Sama teman. Kau panas-panas begini ke Pyramid Com ada apa? Kau ‘kan paling malas keluar di tengah panas yang menggila seperti ini?” tanyaku tanpa memandang kepadanya. Itu tidak mungkin kulakukan kecuali terpaksa misalnya ketika berjumpa begitu saja. Atau reflek menengok karena dia memanggil namaku. “Terpaksa. Tinta printku habis. Padahal aku harus ngeprint banyak saat ini. Sialnya stok Pyramid Com juga habis. Aku mau ke Helwan malas sekali?” jawabnya dengan nada kecewa. “Kebetulan tintaku masih penuh. Baru beli. Pakai saja milikku.” “Terima kasih Fahri. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku perlu sekali. Kalau aku tahu itu aku tidak akan capek-capek begini.” “Kelihatannya kau sangat sibuk minggu dan banyak tugas minggu ini, Maria?”
“Iya, sejak empat hari kemarin aku sibuk mengedit kumpulan tulisanku yang tersebar di beberapa media selama satu tahun ini. Hari ini juga harus aku print. Sebab habis maghrib nanti akan diambil Wafa untuk dimintakan kata pengantar pada Anis Mansour, lalu diterbitkan. Setelah itu sampai kuliah aktif kembali aku kosong. Ada apa kau tanya seperti itu. Ada yang bisa aku bantu?” “Ya. Kalau kau berkenan. Aku perlu bantuanmu.” “Apa itu? Kalau aku mampu, dengan senang hati.” Aku lalu menjelaskan pertemuanku dengan Alicia dan segala pertanyaannya. Aku menjelaskan keinginanku menyampaikan isi buku yang ditulis Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi. Tapi kelihatannya aku tidak punya waktu yang cukup. Buku itu setebal 143 halaman. Dan Maria bahasa Inggrisnya sangat bagus. Selama di sekolah menengah ia kursus di British Council, dan pernah terpilih pertukaran pelajar ke Skotlandia selama setengah tahun. “Kapan dead linenya?” “Jawaban harus aku sampaikan pada Alicia hari Sabtu depan. Kalau bisa malam Jum’at sudah selesai diterjemahkan sehingga aku juga ada kesempatan membacanya?” “Baiklah. Nanti berikan buku itu padaku. Aku berjanji Kamis pagi selesai.” “Thank’s, Maria.” “Forget it.” Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat langkah. Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di depan, aku teringat kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi Musa tidak mau berjalan di belakang keduanya demi menjaga pandangan dan menjaga kebersihan jiwa. Sampai di dalam flat, Saiful menyambutku dengan segelas ashir mangga. Aku langsung meminumnya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuh. Aku langsung masuk kamar dan menyalakan kipas angin. Maria mengirim sms agar tinta dan buku yang hendak diterjemah segera kusiapkan. Lima menit lagi ia akan menurunkan keranjang. Aku langsung mencari buku itu di rak. Ketemu. Jendela kubuka. Angin panas masuk serta merta. Maria telah menunggu dengan keranjang kecilnya. Tinta dan buku kumasukkan ke dalamnya. Dan ia mengangkatnya. Aku langsung shalat dan istirahat sampai ashar tiba.


* * *

Mishbah pulang dari Nasr City jam enam sore. Ketika aku sedang asyik membaca beberapa buku untuk menjawab pertanyaan Alicia. Ia membawa pesan dari Nurul yang secara tidak sengaja bertemu di depan Wisma agar aku menelpon dia sebelum maghrib tiba. Kembali Rudi menggodaku, “Tidak salah lagi. Pasti ada sesuatu. She is the true coise!” Aku beristighfar dalam hati. Semoga Allah melindungi dari godaan setan yang terkutuk yang menyesatkan manusia dengan berbagai macam cara. Dalam hati aku menegaskan, aku tidak akan menelponnya. Setengah tujuh telpon berdering. Dari Nurul. Ia minta padaku agar ke rumah Ustadz Jalal, katanya Ustadz Jalal ingin minta tolong dan membicarakan sesuatu yang penting padaku. Kukatakan minggu ini aku tidak bisa. Ia bilang tidak apa-apa, tapi minta diusahakan kalau ada kesempatan langsung ke sana. Ustadz Jalal masih ada hubungan kerabat dengan Nurul, meskipun agak jauh. Mereka bertemu di ayah kakek alias buyut. Sudah lama aku tidak bertemu Ustadz Jalal. Beliau dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang mengambil S3 di Sudan, dan selama menulis disertasi doktoralnya beliau tinggal di Kairo bersama isteri dan ketiga anaknya. Aku akrab dengan beliau dimulai sejak kami umrah bersama dua tahun yang lalu. Kami mengarungi laut merah untuk mencapai Jeddah dengan kapal Wadi Nile. Saat itu beliau baru setengah tahun di Cairo. Anak beliau baru dua. Anaknya yang bungsu lahir di Cairo tujuh bulan yang lalu. Apa yang beliau inginkan dariku? Apakah beliau akan meminta tolong untuk ikut mentakhrij hadits lagi? Aku tak tahu pasti. Jawabnya adalah ketika aku bertemu dengannya. Sebenarnya yang membuatku sedikit heran, kenapa Ustadz Jalal tidak langsung menelponku, kenapa berputar lewat Nurul. Benar, rumahnya tidak ada telponnya, tapi dia tentunya bisa menelpon lewat Minatel yang tersebar di setiap sudut kota Cairo. Keadaan dan jalan berpikir seseorang terkadang memang susah dimengerti. Usai mengangkat telpon aku tidak meneruskan pekerjaanku sebelumnya, yaitu membaca. Tapi aku merasa perlu meninjau kembali planning bulan ini. Utamanya adalah minggu yang sedang aku jalani ini. Aku melihat jadwal keluar rumah. Ada lima kegiatan. Kurasa harus aku pangkas semua. Aku harus istirahat dan mengejar terjemahan. Pengajian ibu-ibu KBRI hari Selasa. Pembanding dalam diskusi yang diadakan FORDIAN, Forum Studi Ilmu Al-Qur’an, di Buuts, hari Rabu pagi. Pergi ke warnet. Dan rapat Dewan Asaatidz Pesantren Virtual, di mahattah Shurthah, Nasr City, Kamis malam Jum’at. Semuanya harus aku batalkan. Yang perlu pengganti harus aku carikan ganti. Bahkan untuk talaqqi pada Syaikh Utsman hari Rabu aku ingin izin, sekali ini. Aku benar-benar ingin di rumah minggu ini, menghindari perjalanan panjang yang membuat ubun-ubun terasa mendidih. Sore itu juga aku telpon takmir masjid Indonesia yang mengurusi pengajian ibu-ibu KBRI agar mengganti jadwalku dan memundurkan satu bulan ke belakang. Pada koordinator FORDIAN aku minta diganti, kutawarkan sebuah nama. Pada Gus Ochie El-Anwari sang penggagas rapat Dewan Asaatidz aku minta izin, aku sampaikan beberapa ide dan pokok pikiran yang mengganjal di kepala. Setelah semua beres aku merasa lega. Langsung kusambung dengan menulis jawaban atas pertanyaan Alicia seputar Islam dan Perempuan. Aku hanya istirahat untuk shalat, makan malam, dan minum air putih. Tekadku bulat harus tuntas malam ini. Tak ada bedanya dengan membuat karya ilmiah. Jawaban dengan bahasa Inggris itu selesai juga. Tepat pukul tiga malam. Dengan bahasa Inggris. Setebal empat puluh satu halaman spasi satu Microsoft Word, Times New Roman, Font 12. Seandainya tidak memakai bahasa Inggris kurasa pukul satu malam sudah selesai. Beberapa kali aku harus membuka kamus Al Maurid untuk sebuah kosa kata yang aku kurang yakin ketepatannya. Sejak itu aku tidak keluar rumah kecuali untuk shalat berjamaah. Waktuku habis di dalam kamar, di depan komputer. Aktifitasku adalah menerjemah, menyelesaikan proposal, sesekali makan, ke kamar mandi dan tidur. Hari Selasa sore Maria memberi tahu buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi telah selesai ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hanya saja ia tidak berani menerjemahkan hadits dan ayat suci Al-Qur’an takut salah. Maria memberikan disket berisi terjemahannya. Kekurangannya kutambal. Jawabanku dan hasil terjemahan Maria langsung aku print dan ketika shalat shubuh aku berikan kepada Syaikh Ahmad untuk diperiksa. Kebetulan bahasa Inggris beliau bagus tidak seperti Imam masjid lainnya. Beliau bahkan pernah diutus oleh Al Azhar ke Australia untuk menjadi Imam di masjid Malik Faishal yang terletak di Common Wealth Street, Surry Hills, Sidney selama satu tahun. Aku jelaskan pada beliau pertemuanku dengan Miss. Alicia dari Amerika dan kapan jawaban itu harus aku serahkan. Aku ingin beliau mengoreksi dengan seksama. Beliau sangat senang dengan apa yang aku lakukan. Beliau menjanjikan malam Jum’at ba’da shalat Isya bisa aku ambil sehingga bisa diedit lagi dan diprint ulang. Kekejaman pada diri sendiri untuk bekerja keras menampakkan hasilnya. Hari Jum’at terjemahan selesai. Tinggal menunggu diedit saja. Proposal tesis juga selesai, siap untuk diajukan ke tim penilai. Jika layak nanti pihak fakultas akan mencarikan promotor yang sesuai. Dan jawaban untuk semua pertanyaan Alicia yang telah dikoreksi dan diberi tambahan Syaikh Ahmad sudah aku print, aku fotocopy dan aku jilid jadi empat. Untuk Alicia, untuk Aisha, untuk Maria, dan untuk arsip pribadiku. Aku menatap peta hidup bulan ini. Aku tersenyum penuh rasa syukur. Kukatakan pada diriku sendiri, “Man jadda wajad!” 81 Aku merasa bersyukur kepada Allah yang mengilhamkan untuk merubah strategi perangku minggu ini. Memang terkadang kita harus kejam pada diri sendiri. Dan sedikit tegas pada orang lain. Aktifitas yang penting tetapi tidak terlalu penting bisa dibuang atau di-pending. * * * Ketika aku mengambil naskah yang dikoreksi Syaikh Ahmad, beliau bercerita sedikit tentang Noura. Gadis innocent itu senang di Tafahna. Kebetulan satu hari sebelumnya, Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menjenguk ke sana. Syaikh Ahmad sedang melacak sebenarnya siapa Si Muka Dingin Bahadur itu. Apakah benar ayahnya atau bukan? Syaikh Ahmad mendapatkan informasi Noura dilahirkan di klinik bersalin Heliopolis. Bagaimana sejarahnya Noura bisa terlahir di klinik elite di kawasan elite itu? Syaikh Ahmad sedang menyelidikinya dengan bantuan Ridha Shahata, sepupunya yang menjadi staf intelijen Dewan Keamanan Negara atau yang disebut “Mabahits Amn Daulah”. Aku yakin tak lama lagi Noura kembali hidupnya yang penuh ketenteraman. Sebelum aku pulang beliau menyerahkan sepucuk surat kepadaku, beliau bilang, “Surat ini yang membawa Ummu Aiman, dari Noura, katanya ucapan terima kasih padamu!” Inilah untuk pertama kalinya aku mendapatkan surat dari orang Mesir. Asli. Dari gadis Mesir lagi. Meskipun cuma ucapan terima kasih. Aku penasaran ingin tahu kata-kata apa yang ditulis oleh gadis innocent itu. Seperti apa tulisannya. Ingin rasanya kubuka seketika itu, tapi pada Syaikh Ahmad aku merasa malu. Kumasukkan surat itu begitu saja ke dalam saku.

0 comments

Post a Comment