18. Saat-saat Indah di Tepi Sungai Nil


Di masjid aku bertemu Magdi penjaga apartemen. Aku sangat senang ada polisi yang rajin berjamaah seperti dia. Aku berbincang dengannya sebentar. Dia ternyata sekolah menengahnya dulu di Ma’had Al Azhar, Damanhur. Dan dia bukan satpam biasa, tapi polisi khusus yang ditugaskan untuk menjaga keamanan beberapa diplomat yang tinggal di apartemen itu. Ketika kukenalkan diriku dia sangat senang sekali. Lalu aku dikenalkan pada imam masjid yang bernama Syaikh Abdurrahim Hasuna. Beliau senang sekali berkenalan denganku. Beliau bahkan mempersilakan diriku untuk melihat perpustakaan pribadinya jika aku memerlukannya. Aku senang dengan tawarannya.
Selesai shalat berjamaah dan berdzikir secukupnya aku langsung pulang. Shalat sunnah di rumah saja. Aku tak ingin Aisha menunggu lama. Usai shalat sunnah Aisha telah siap dengan penampilan yang membuat seorang suami senang. Penuh pesona. Parfumnya segar. Ia benar-benar mengerti hukum memakai parfum. Selama memakai gaun pengantin di acara walimah, ia sama sekali tidak memakai parfum. Justru ketika di rumah berduaan denganku ia memakainya.
Aisha mengajakku ke balkon. Ia telah mempersiapkan segalanya. Isteri yang baik. Lampu balkon ia matikan. Kaca riben menutup balkon rapat. “Ini kaca khusus, aman dari pandangan luar tapi tidak mengurangi jernihnya kita memandang keluar, bahkan menambah kejernihan pandangan di malam hari. Kalau mau kita juga bisa membuka kaca ini.” Kata Aisha sambil seluruh menyibak sebagian gorden yang masih menutupi balkon. Dan tampaklah panorama sungai Nil malam hari. Posisi balkon rumah kami sangat strategis. Tepat menghadap ke sungai Nil Dari ketinggian lantai tujuh kami bisa melihat kerlap-kerlip lampu gedung-gedung nun jauh di sana. Kami bisa melihat indahnya riak sungai Nil tertimpa cahaya lampu kota. Gemerlap lampu-lampu hias dari perahu-perahu kecil yang bergerak pelan. Mobil-mobil yang seperti semut di sepanjang kornes Nil sana. Pesona Cairo Plaza Tower yang menjulang megah. Juga Imbaba Brige, salah satu jembatan terpenting yang melintas di atas sungai Nil.
Apartemen di mana kami berada memang terletak di ujung utara pulau di tengah sungai Nil. Inilah salah satu keindahan kota Cairo. Kota Cairo dibelah oleh sungai Nil yang mengalir dari selatan ke utara. Dan di tengah kota Cairo sungai Nil ini terbelah menjadi dua, di mulai dari selatan di dekat Tahrir dan kembali menyatu di dekat Imbaba. Daratan mirip pulau Samosir berbentuk pisang yang berada ditengah belahan sungai Nil ini terbagi dua kawasan, yang selatan disebut El-Gezira dan yang utara di sebut El-Zamalik. Di daratan—yang aku lebih suka menyebut pulau di tengah sungai Nil—ini berdiri bangunan-bangunan penting. Di ujung selatan berdiri hotel mewah Gezira Sheraton dan El-Burg. Juga Cairo Opera House, Cairo Tower, Egyptian Civilization Musium, National Sporting Club dan Nile Aquarium and Grotto ada di pulau ini. Sekali lagi aku lebih senang menyebutnya pulau. Di dekat 26 July Bridge yang melintas di atas pulau ini berdiri Cairo Marriott Hotel yang mewah. Beberapa kedutaan negara asing seperti Jerman, Belanda, Swedia, Albania, Argentina, Pakistan dan lain sebagainya ada di pulau ini. Di ujung utara, tak terlalu jauh dari aparteman kami berdiri President Hotel. Memang sangat nyaman menghabiskan malam di tempat yang nyaman dan romantis seperti ini.
Di balkon, ada kursi malas khas Mesir yang sangat nyaman untuk bermesraan berdua. Orang-orang menyebutnya kursi Cleopatra. Ada dua bantal di atasnya. Di sampingnya ada meja kayu kecil di mana Aisha meletakkan dua gelas susu. Mula-mula kami berdua duduk biasa. Kami masih canggung. Kami salah tingkah. Kami tak tahu dari mana kami mulai. Tak sepatah kata pun keluar menjadi perantara. Tak terasa keringat dingin malah mulai keluar. Ada rasa gelisah yang entah menyusup dari mana. Mungkin Aisha mengalami hal yang sama. Tak mungkin dia yang memulai.
Aku mencoba menghilangkan kegelisahan dan kecanggunganku dengan mengambil minuman yang dibuat Aisha. Kucicipi sedikit.
“Kenapa susunya rasanya asin seperti diberi garam ya?” Pelanku pada Aisha.
“Be..benarkah?” Aisha sedikit kaget.
“Iya. Coba kau rasakan!”
Aisha mengambil gelas dari tanganku dan merasakannya.
“Ah, manis. Tidak asin,” katanya.
Gelas itu kembali kuminta dan kurasakan.
“Sayang, asin begini kok dibilang manis. Mungkin bukan gula yang kau masukkan tapi garam. Coba kau rasakan lagi!” Aisha kembali mencicipi. Dia memandangku dengan sedikit heran.
“Ini manis Fahri, tidak asin!”
“Aishaku sayang ini asin! Cobalah julurkan lidahmu dan masukkan ke dalam minuman itu. Lalu rasakanlah dengan seksama. Pasti kau akan merasakan asinnya. Kau terlalu sedikit mencicipinya. Lidahmu mungkin kurang peka.”
Aisha menuruti kata-kataku. Ia menjulurkan lidahnya ke dalam gelas. Sesaat lidahnya seperti mengaduk-aduk air susu di dalam gelas itu.
“Tidak Fahri, tidak asin! Lidahmu yang mati rasa, bukan lidahku!” Suaranya terdengar lebih tegas.
“Benarkah? Coba!” “Nih.”
Aku lalu meminumnya sampai tiga teguk.
“Hmm..setelah lidahmu menyentuhnya dan mengaduk-aduknya, minuman ini jadi manis sekali. Belum pernah aku meminum minuman semanis ini. Memang benar sabda nabi jika seorang bidadari di surga meludah ke samudera maka airnya akan jadi tawar rasanya. Dan lidahmu mampu merubah susu yang asin ini jadi manis, Bidadariku.”
“Sialan kau Fahri, kau mengerjaiku ya!” seru Aisha sambil mencubit pahaku manja.
Suasana jadi cair dan romantis. Rasa canggung pun hilang. Aisha menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku beringsut merubah posisi duduk. Kupasang bantal di kepala dan kurebahkan tubuhku ke sandaran kursi yang dilapisi busa empuk . Kutarik tubuh Aisya rebahan di dadaku. Aku bebas membelai-belai rambutnya atau memeluknya. Di langit sana bintang-bintang kedap-kedip seperti mata para bidadari yang mengerling cemburu kepada kami. Hati terasa sejuk dan bahagia. Inilah yang membedakan yang halal dan yang haram. Bermesraan dengan perempuan yang halal, istri yang sah, adalah ibadah yang dipuji Tuhan. Sedangkan bermesraan dengan perempuan yang tidak halal adalah dosa yang dilaknat Tuhan. Tuhan telah membukakan pintu-pintu kenikmatan yang mendatangkan pahala, maka alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakannya. Lebih bodoh lagi yang memilih pintu dosa dan neraka. Sambil memandang keindahan panorama sungai Nil malam hari, tanpa kuminta Aisha mulai bercerita tentang dirinya, ibunya dan ayahnya,
“Kurasa ibuku adalah wanita paling mulia di dunia. Ia muslimah sejati yang menempatkan ibadah dan dakwah di atas segalanya. Dan aku sangat beruntung terlahir dari rahimnya. Ketika berumur 22 tahun ibuku menjadi lulusan terbaik fakultas kedokteran Universitas Istanbul. Saat itu beliau dilamar anak pejabat yang menjanjikannya akan membuatkan rumah sakit terbesar di Turki. Tapi beliau tolak, sebab anak pejabat itu sangat sekuler dan sama sekali tidak menghargai ajaran agama. Dalam padangan beliau, seandainya menikah dengannya sangat sedikit sekali peluang untuk menariknya ke jalan yang lurus hanya akan membuang tenaga. Beliau memilih mengambil beasiswa ke Jerman. Dalam keyakinan ibu, menekuni bidang ilmu dengan serius adalah dakwah. Dalam waktu dua tahun beliau mampu meraih gelar master untuk spesialis jantung. Padahal master di Jerman rata-rata empat tahun. Saat itu juga beliau diterima bekerja di sebuah rumah sakit di Munchen sambil meneruskan program doktor. Di Turki, pinangan untuk ibu silih berganti berdatangan dari kolega dan kenalan bisnis kakek. Tapi ibu ingin pernikahannya ada nilai dakwahnya. Ibu ingin mendapatkan kehormatan yang lebih baik dari terbitnya matahari, yaitu menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang.
Ibu pernah berkunjung ke Swiss dan berkenalan dengan Wafa Al Banna, puteri Hasan Al Banna yang saat itu tinggal di sana bersama suaminya Dr. Said Ramadhan. Sebuah perkenalan yang berarti bagi ibu untuk semakin mantap menapak di jalan dakwah. Berislam, menurut ibu tidak berarti harus memusuhi Barat. Tetapi justru memperjuangkan Islam lewat Barat. Ibu seringkali bertanya pada orang-orang muslim di Eropa, di Jerman khususnya, ‘Apa kontribusi yang telah diberikan seorang muslim di Barat untuk dunia?’
Akhirnya pada tahun 1979 ada seorang konglomerat pemilik swalayan di beberapa kota besar di Jerman mendatangi Islamic Centre dan menyatakan ketertarikannya kepada Islam. Ia tertarik kepada Islam karena hukum keluarga dalam syariat Islam yang indah. Yang mengatur sedemikian detil hak dan kewajiban suami isteri. Dalam syariat Islam peselingkuhan adalah dosa besar. Dan syariat telah memberikan pagar yang kuat yang jika pagar itu tidak dilanggar maka tidak akan ada perselingkuhan yang merusak tatanan keluarga dan masyarakat. Konglomerat itu sangat tertarik dengan itu semua. Dia secara materi memang cukup tapi batinnya kering. Dia telah menikah dengan tiga orang wanita Eropa tapi semuanya berselingkuh dan perkawinannya dengan mereka selalu gagal. Dia ingin seorang isteri yang setia. Dia ingin membuktikan apakah benar wanita muslimah adalah wanita yang setia. Dia siap masuk Islam jika ada seorang muslimah yang bersedia jadi isterinya yang setia. Mendengar hal itu ibu langsung menyatakan kesediaannya menikah dengan lelaki setengah baya itu. Umur ibu saat itu 25 tahun dan umur lelaki itu 45 tahun. Terpaut 20 tahun. Jadi konglomerat itu lebih pantas menjadi ayah ibu. Banyak orang menyayangkan keputusan ibu. Aku sendiri, seandainya jadi ibu tidak akan sekuat itu. Keluarga di Turki hampir semua tidak setuju kecuali nenek. Wanita asli Palestina itu satu-satunya yang justeru setuju. Demi dakwah, nyawa pun dipertaruhkan, kata nenek saat itu. Akhirnya kakek merestui juga. Jadilah ibu menikah dengan konlomerat itu. Fahri, apakah kau tahu siapa konglomerat itu?”
Aku membelai rambut Aisha. Sesekali mengecup kepalanya. Bau rambutnya yang hitam sangat khas dan wangi. Aku belum pernah mencium bau seperti rambut Aisha.
“Fahri, kenapa kau diam saja? Kau mendengarkan ceritaku apa tidak?”
Aisha merajuk manja.
“Mendengarkan dengan seksama.Konglomerat ibu, kukira adalah ayahmu, Tuan Rudolf Greimas?”
“Benar.”
“Nama ayahmu mengingatkan aku pada seorang tokoh?”
“Siapa dia?”
“AJ. Greimas, filsuf strukturalis Perancis. Ada hubungan darah dengannya?”
“Tidak. Ayah bahkan aslinya berdarah Tunis. Kakek ayah lahir di Tunisia. Namanya Omar. Jadi nama ayah lengkapnya Rudolf Greimas Omar.”
“Jadi semestinya sebutan untuk ayahmu adalah Rudolf Omar. Omar dijadikan nama keluarga. Bukan Greimas.” “Semestinya begitu, tapi entahlah ayah tidak mau. Ibu pernah menggugat masalah itu. Tapi ayah tak menanggapinya.”
“Terus bagaimana kisah ibumu dengan ayahmu setelah menikah. Apakah tujuan ibumu untuk berdakwah berhasil?”
“Dalam penilaianku ibu berhasil. Setelah menikah dengan ayah, beliau memberikan semua yang dimilikinya pada ayah. Dalam diri ibu, ayah mendapatkan segala yang diinginkan seorang suami pada isterinya, seorang kekasih pada pacarnya, seorang lelaki pada wanita, dan seorang yang haus pada penawar dahaganya. Ayah mengakui ibu adalah wanita terbaik, isteri terbaik dan teman terbaik yang beliau miliki. Akhirnya ayah tekun beribadah dan tidak malu menampakkan identitas kemuslimanannya. Banyak pekerja swalayannya yang tertarik kepada Islam dan masuk Islam. Dengan itu semua ibu mampu menyalurkan dana untuk lembaga dakwah di Jerman. Tahun 1981, dua tahun setelah menikah, ibu melahirkan aku. Ayah sangat gembira sekali. Tiga isterinya terdahulu tidak memberinya apa-apa selain pengkhianatan. Sebagai hadiah ayah membuatkan klinik kesehatan di sebuah kawasan elite kota Munchen untuk ibu. Ibu tentu saja senang. Dan beliau meminta agar kepemilikan klinik bersalin itu atas namaku. Ayah setuju. Tahun berikutnya ibu meraih gelar doktor untuk spesialis jantung dengan predikat tertinggi. Beliau langsung diminta mengajar di Universitas Munchen.
Sejak itu, menurut cerita ayah, sejak itu ibu sangat sibuk. Tapi ibu mampu mengatur waktu dengan baik. Mengasuh aku, mengurus suami, mengurus klinik, menjadi wakil direktur rumah sakit, dan mengajar di universitas. Tidak hanya itu ibu masih bisa menyempatkan waktu untuk mengadakan penelitian di laboratorium. Hasilnya adalah, beliau menemukan tiga jenis obat yang sangat berguna bagi dunia kedokteran. Tiga jenis obat itu telah dipatenkan atas nama ibu dan kini digunakan di seluruh dunia.
Dalam keadaan sesibuk itu, ibu masih sangat perhatian pada ayah. Bagi ibu ayah adalah segalanya. Ayah adalah cintanya yang pertama dan terakhir. Ini tentu membuat ayah merasa tersanjung bukan main. Jika suatu ketika ayah mengadakan pertemuan dengan koleganya, banyak koleganya yang iri pada ayah yang memiliki seorang isteri yang cantik, masih muda, berpendidikan tinggi, dan sangat setia. Ayah sendiri yang menuturkan hal ini padaku. Ibu tidak pernah menuntut atau meminta sesuatu pada ayah. Dan semua keinginan ayah jika ibu mampu, dan selama tidak melanggar syariat ibu pasti akan memenuhinya. Bagi ibu memuliakan suami adalah dakwah paling utama bagi seorang isteri.
Hasilnya, ayah seringkali menjadi pembela kepentingan kaum muslim di Jerman. Ayah juga memberikan beasiswa untuk mahasiswa muslim yang belajar di Jerman. Banyak mahasiswa muslim yang meraih doktornya di Jerman dengan tunjangan beasiswa dari ayah. Dan mereka saat ini memiliki peran-peran signifikan di negaranya. Kalau boleh aku mengatakan, secara tidak langsung itu semua adalah atas keikhlasan hati ibu mewakafkan dirinya di jalan dakwah. Kalau seandainya ibu mau menikah dengan ayah karena materi, maka ibu sendiri tidak kekurangan materi. Ketika ibu menikah dengan ayah, perusahaan kakek di Turki telah maju pesat. Perusahaan garmennya telah mengisi pasar di seluruh penjuru Timur Tengah dan Asia Selatan. Dan ibu mampu untuk mencari suami yang lebih muda dan lebih kaya dari ayah di Turki. Tapi pertimbangan ibu pada waktu itu adalah konstribusinya di jalan dakwah. Itu yang aku kagumi dari ibu dan aku tidak akan mampu menirunya. Aku tidak mungkin mau menikah dengan seorang lelaki yang telah tiga kali kawin cerai dan umurnya 20 tahun lebih tua dariku. Ayah sangat beruntung sekali memperistri ibu.”
“Bagaimana kau tahu begitu banyak tentang ibumu, tentang pikirannya dan lain sebagainya padahal kau masih belia saat ibumu meninggal?”
“Sebagian aku tahu dari apa yang kulihat dan kudengar dari ibu. Sebagian dari paman Akbar, dari nenek, dari bibi Sarah, dari ayah, dan dari beberapa muslimah di Jerman yang menjadi teman baik ibu serta dari belasan diary ibu. Ibu orang yang paling suka mencurahkan isi hatinya, dan hari-hari yang dialaminya ke dalam diarynya.”
“Aku jadi sangat kagum pada ibumu.” “Seandainya dia masih hidup kau akan sangat bahagia bertemu dengannya. Dia tumbuh di Turki, memperoleh pendidikan tinggi dan berkiprah di Jerman, tapi dia tetap titisan perempuan Palestina. Jiwanya jiwa pejuang sejati.”
“Kalau ayahmu, masih ada?”
“Masih.”
“Kenapa dia tidak datang?”
“Inilah yang ingin aku ceritakan. Ayahku sekarang tidak seperti ayah waktu ibu masih hidup.”
“Maksudmu?”
“Aku sedih setiap kali mengingatnya. Ayah telah rusak kembali seperti sebelum menikah dengan ibu. Ia telah meninggalkan Islam dan suka bergontaganti pasangan hidup.” “Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
“Mulanya adalah kecelakaan yang menewaskan ibu pada tahun 1995. Saat itu hujan lebat, ibu pulang dari mengisi seminar keislaman di pinggir kota Munchen. Dia mengendarai mobil sendiri. Ada mobil melaju kencang di belakang ibu. Mobil itu selip dan menambrak mobil ibu. Mobil ibu terbalik dan terlempar lima meter dari ruas jalan. Ibu meninggal seketika. Saat itu umurku baru empat belas tahun. Mendengar kabar itu ayah sangat terpukul. Ayah merasa kehilangan cahaya hidupnya dan kehilangan segalanya. Berbulan-bulan lamanya ayah linglung. Untung paman Akbar Ali mengetahui kondisi yang tidak baik bagiku ini. Beliau akhirnya mengambilku dan menitipkan pada sahabat karib ibu waktu di Istanbul yang tinggal di Zurich, Swiss. Juga seorang dokter. Namanya Khaleda. Aku memanggilnya Madame Khaleda. Kebetulan beliau tidak memiliki anak. Beliau mencurahkan segala kasih sayangnya padaku. Munchen-Zurich tidak jauh. Ayah sering menengok aku. Dan Madame Khaleda juga sering mengajakku menengok ayah. Aku melanjutkan pendidikan di Zurich. Sementara ayah masih belum bisa menerima kenyataan yang dialaminya sampai dua tahun setelah itu. Lalu ada sebuah peristiwa kecil yang menggoncang iman ayah. Pada tahun 1997 ayah mengunjungi keluarga di Turki. Saat itu bibi Sarah kebetulan sedang pulang berlibur dari Mesir. Bibi Sarah memang sangat mirip dengan ibu. Ayah melihat bibi Sarah seperti melihat ibu. Saat itu umur bibi Sarah tepat 24 tahun. Dan saat ibu menikah dengan ayah tahun 1979 umurnya 25 tahun. Jadi ayah seolah melihat ibu ketika baru menjadi isterinya dulu. Seketika itu juga ayah melamar bibi Sarah untuk dijadikan isteri menggantikan ibu. Sebelumnya ayah memang tidak pernah melihat bibi Sarah. Waktu ayah sering berkunjung berkunjung ke Turki awal-awal delapan puluhan bibi Sarah masih ingusan. Dan ketika berjumpa dengan bibi tahun 1997, bibi telah menjelma menjadi gadis dewasa yang matang dan telah menyelesaikan Licencenya di Al Azhar. Wajahnya, suaranya dan lemah lembutnya sangat mirip dengan ibu. Ayah benar-benar tergila-gila pada bibi Sarah. Ayah menganggap bibi Sarah adalah reinkarnasi ibu. Saat itu ayah sudah 63 tahun, sama dengan umur baginda Nabi saat meninggal dunia. Dengan tegas bibi menjawab tidak bisa menerima lamaran ayah. Dan itu sangat masuk akal. Bagaimana mungkin bibi mau menikah dengan seorang kakek-kakek. Jawaban bibi ternyata tidak bisa dimaklumi ayah. Ayah merasa direndahkan dan tidak dihargai. Ayah merasa orang yang terhormat di Jerman. Belum pernah ditolak wanita. Menurut ayah seharusnya bibi Sarah yang telah belajar di Al Azhar seperti ibu. Bersedia menjadi isteri ayah dan mencari suami tidak memandang umur. Tapi memandang prospek dakwah dan pengabdian seperti ibu. Bibi membantah anggapan ayah itu, pintu dakwah terbuka lebar-lebar di mana saja. Prospek dakwah tidak hanya dengan menikah dengan ayah yang telah renta. Ayah sangat terpukul dengan jawaban bibi. Sebagai pelariannya, tanpa pikir panjang, ayah menikah dengan siapa saja yang mau menikah dengannya. Keislaman ayah ternyata belum kuat meskipun telah hidup 16 tahun bersama ibu. Lama-lama karena hidup sering berganti pasangan hidup keislamanannya luntur. Dan tahun 1999 beliau menikah dengan seorang gadis di sebuah gereja di Yunani. Itu terjadi tepatnya dua bulan setelah aku kembali ke Jerman. Madame Khalida kembali ke Turki saat aku selesai sekolah menengahku. Beliau menyarankan agar aku melanjutkan kuliah di Jerman sambil menjaga ayah yang sudah tua. Aku sangat sedih mendapati ayah yang sangat lain dengan yang kukenal dulu. Beliau tidak lagi menyayangiku seperti dulu. Beliau lebih bersikap acuh tak acuh. Aku berusaha mengembalikan ayahku yang hilang. Tapi usaha kerasku kelihatannya tidak akan membuahkan hasil. Pernikahan itu tidak berumur panjang. Akhirnya ayah menikahi seorang janda setengah baya berambut pirang bernama Jeany. Janda ini pandai sekali mengambil hati ayah. Sekuat tenaga dia mempertahankan perkawinannya dengan ayah. Ia menginginkan harta ayah. Di luar sepengetahuan ayah Jeany memiliki teman kumpul kebo di Stuttgart. Setiap kali aku mengingatkan baik-baik hal ini ayah marah besar. Ia menuduhku hendak merusak hubungannya dengan Jeany. Ayah sudah melupakan ibu sama sekali sejak ditolak oleh bibi Sarah. Semua permintaan Jeany dituruti oleh ayah. Ayah bahkan sudah membuat wasiat di notaris jika ia mati semua aset kekayaan yang tertulis atas namanya akan menjadi hak Jeany. Ayah memang tergila-gila pada Jeany. Untungnya klinik, empat swalayan di Munchen dan Hamburg, pabrik farmasi, dan rumah mewah yang saat ini ditempati ayah telah diatasnamakan diriku oleh mendiang ibu. Jeany terus berusaha agar semua harta yang telah teratasnamakan diriku bisa jadi miliknya. Dia menggunakan cara yang tidak sehat dan sangat memusuhiku. Dalam kondisi yang sedemikian tidak nyamannya aku tetap berusaha bertahan, demi bakti seorang anak pada ayahnya. Meskipun ayah tidak lagi satu iman denganku. Aku ingin menjadi anak ibu yang shalihah yang berbakti pada ayahnya. Dari perkawinannya dengan suami pertama, Jeany memiliki seorang anak lelaki bernama Robin. Dia mengajak Robin tinggal di rumah mewah itu. Dan ayah menyetujuinya meskipun aku tidak setuju. Sejak Robin tinggal satu rumah denganku aku merasa seperti di neraka. Diam-diam Jeany merancang agar aku menikah dengan Robin, yang dituju adalah segala aset kekayaan yang kini atas nama diriku. Aku jelas tidak mau. Tapi Robin terus mengejarku. Terkadang dia agak keterlaluan. Misalnya tiba-tiba masuk kamarku saat aku sedang belajar. Tentu saja aku tidak sedang memakai jilbab. Aku sangat marah padanya. Kelakuannya kuadukan pada ayah. Tapi ayah sama sekali tidak membelaku. Ayah bukan ayah yang kukenal dulu. Aku tetap bertahan. Di hari tua ayah, aku ingin tetap berada di samping ayah.. Sejak itu aku selalu mengunci kamarku untuk berhati-hati. Tapi Robin sungguh keterlaluan. Entah bagaimana caranya dia bisa memasang kamera di kamar mandiku. Suatu malam dia menghadiahkan kaset itu padaku. Langsung aku putar kaset itu. Betapa terperanjatnya aku melihat apa yang dilayar kaca. Yang kulihat adalah diriku sedang gosok gigi dan mandi. Aku sangat marah pada Robin, aku merasa harga diriku diinjak-injak. Untungnya, Allah Swt masih menyelamatkan kehormatanku. Dalam rekaman itu, aurat paling aurat yang kumiliki sama sekali tidak terbuka. Tertutup rapat. Untuk itu aku sangat berterima kasih kepada ibu dan nenek. Sejak kecil ibu mengajariku agar memiliki rasa malu kepada Allah melebihi rasa malu pada manusia. Ibu menanamkan sejak kecil untuk tidak telanjang bulat di manapun juga. Meskipun sedang sendirian di kamar tidur atau kamar mandi. Jika mandi ibu mengajarkan untuk tetap memakai basahan. Orang-orang pilihan, kata ibu, jika mandi tetap memakai basahan, tidak telanjang bulat. Ibu berkata, ‘Jika kita malu aurat kita dilihat orang, maka pada Allah kita harus lebih merasa malu.’ Menurut cerita ibu, dan ibu dari dari nenek, di zaman nabi dulu, ketika nabi tahu ada orang mandi tidak memakai sarung, beliau langsung naik mimbar dan menyuruh umatnya untuk menutup aurat ketika mandi.
Alhamdulillah sejak sebelum akil baligh aku telah terbiasa untuk mandi dengan tetap memakai basahan yang menutup aurat atas dan aurat bawah. Dan memang inilah tradisi perempuan di keluarga kami, keluarga Palestina. Nenek mendapatkan ajaran seperti itu dari ibunya. Lalu nenek mengajarkan pada anaknya. Dan anaknya mengajarkan pada anaknya. Nenek, ibu, bibi Sarah dan aku, tidak akan bisa mandi tanpa basahan. Malu rasanya.
Yang terekam oleh kamera Robin adalah aku menggosok gigi dan mulai mandi. Durasinya hanya sepuluh menit setelah itu putus. Mungkin kaset perekamnya habis. Aku bersyukur kepada Allah atas perlindungannya. Sebab satu jam setelah mandi itu aku buang air kecil. Jika kegiatan sangat pribadi seperti itu terekam, aku akan merasa menjadi wanita paling malang di dunia. Kejahatan Robin aku laporkan ke polisi. Polisi langsung mengusut dan menahannya. Tindakannya termasuk kriminal serius. Dia dijebloskan ke dalam penjara. Namun satu minggu kemudian dia keluar. Ternyata justru ayah yang membebaskannya dengan tebusan dan jaminan atas permintaan Jeany.
Sejak itu aku sangat marah pada ayah. Jika ayah mencintai mendiang ibu, semestinya dia melindungi anak gadisnya. Bukan malah membebaskan seorang bajingan yang mencoba membuka aurat anak gadisnya. Aku merasa sudah tidak perlu lagi tinggal bersama mereka. Diriku bisa binasa. Aku hengkang dari rumah dan menyewa flat di dekat kampus dan sejak itu tidak pernah lagi menginjak rumah itu. Tapi rumah itu tidak mungkin kubiarkan jatuh ke tangan Jeany. Sebetulnya aku bisa saja mengusir mereka semua. Tapi itu sama saja aku mengusir ayah. Aku tidak mau itu. Nanti, jika tiba saatnya rumah itu akan kembali jadi rumah yang enak disinggahi. Aku menghabiskan masa kecil bersama ibu di sana. Sekarang aku hanya bisa berdoa semoga Allah kembali memberikan hidayah-Nya kepada ayah.” Aku mengelus pipi Aisha yang basah. “Maafkan aku Fahri, suasananya jadi sedih.” “Sekarang aku ini adalah dirimu Aisha, bukan orang lain. Tapi aku merasa sangat cemburu sekali.” “Kenapa?” “Robin itu. Ingin sekali aku menghajarnya.” “Terima kasih Fahri, love is never without jealousy. Cinta selalu disertai rasa cemburu. Tanpa rasa cemburu cinta itu tiada. Kau memang suami yang kuidamkan!”


* * *


Malam merambat begitu cepat.
“Jam berapa sekarang, Sayang?” tanyaku pada Aisha.
“Mungkin jam setengah sebelas,” jawabnya sambil menggeliat dan bangkit.
“Sudah malam sudah waktunya kita masuk ke dalam, yuk!” sambungnya sambil menarik tanganku. Aku bangkit menuruti ajakan Aisha. Sekilas kulayangkan pandangan keluar. Kornes Nil masih ramai. Mobil-mobil masih banyak yang lalu lalang dengan sorot lampu seperti cahaya meteor. Aisha mengajakku masuk kamar pengantin yang semerbak wangi. Kami di tepi ranjang. Aku puas-puaskan menikmati keelokan wajahnya. Kedua matanya sangat indah. Kami berpandangan saling menyelami. Terngiang dalam diri sabda Nabi,
Sebaik-baik isteri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu senang, jika kamu perintah dia mentaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia akan menjaga untukmu harta dan dirinya. 98I
“Aisha, kau cantik sekali, memandang wajahmu sangat menyenangkan!” lirihku.
Aisha tersenyum sambil melingkarkan kedua tangannya di leherku.
“Fahri, kau pria terbaik yang pernah kutemui, kaulah cinta pertama dan terakhirku. Aku punya sebuah puisi untukmu. Maukah kau mendengarnya?”
Aku menganggukkan kepala. Kuperhatikan dengan seksama gerak bibirnya. Apa yang akan diucapkannya. Dia malah diam lama sekali lalu tersenyum. Aku gemes dibuatnya.
“Dengarlah baik-baik Kekasihku, jangan sampai ada satu huruf yang terlewatkan. Puisi ini lebih berharga dari dunia ini seisinya. Kehilangan satu huruf saja kau akan sangat menyesalinya:

agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu,
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan mimpikupun berada dalam benderang dan abadi Aisha luar biasa romantisnya. Kupandangi lekat-lekat wajahnya sambil terus memuji keagungan Tuhan. Hasrat yang terlukis diwajahnya dapat kubaca dengan jelas. Dengan suara pelan kubalas puisinya:

alangkah manis bidadariku ini bukan main elok pesonanya
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya bibirnya,
mawar merekah di taman surga
Kami lalu memainkan melodi cinta paling indah dalam sejarah percintaan umat manusia, dengan mengharap pahala jihad fi sabilillah, dan mengharap lahirnya generasi pilihan yang bertasbih dan mengagungkan asma Allah Azza wa Jalla di mana saja kelak mereka berada.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Seakan-akan bidadari itu seperti permata Yajut dan marjan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.

0 comments

Post a Comment