2. Peristiwa di dalam Metro


Usai shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama lengkapnya Syaikh Ahmad Taqiyyuddin Abdul Majid. Imam muda yang selama ini sangat dekat denganku. Beliau tidak pernah menyembunyikan senyumnya setiap kali berjumpa denganku. Beliau masih muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan baru setengah tahun yang lalu ia meraih Magister Sejarah Islam dari Universitas Al Azhar. Anaknya baru satu, berumur dua tahun. Kini beliau bekerja di Kementerian Urusan Wakaf sambil menempuh program doktoralnya. Beliau juga menjadi dosen Sejarah Islam di Ma’had I’dadud Du’at 17 yang dikelola oleh Jam’iyyah Syar’iyyah bekerjasama dengan Fakultas Dakwah, Universitas Al Azhar. Di seluruh Mesir sampai sekarang ma’had ini baru ada dua: di Ramsis dan di Hadayek Helwan. Meskipun masih muda, namun kedalaman ilmu agama dan kefashihannya membaca serta mentafsirkan Al-Qur’an membuat masyarakat memanggilnya “Syaikh”. Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi membela kebenaran membuat sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan masyarakat Hadayek Helwan dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan kawula muda. Panggilan ‘Syaikh’ tidak membuatnya lantas merasa canggung untuk ikut sepak bola setiap Jum’at pagi bersama anak-anak muda. Jika Maria adalah gadis Koptik yang aneh. Aku merasa Syaikh Ahmad adalah ulama muda yang unik. “Akh 18 Fahri, mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum menghiasi wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata rapi. Kutatap wajah beliau sesaat. Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem Saheer, penyanyi tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja seantero Timur Tengah. Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran jika beliau disayangi semua orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk membaca Al-Qur’an seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita belantika selebritis Mesir. “Seperti biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar.
Beliau langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh Ahmad dulu juga belajar qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali bahkan masih datang ke sana. “Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku. “Semestinya memang begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk datang.” “Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.” “Amin,” sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab. Waktunya sudah mepet. “Syaikh, saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad ikut berdiri. Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata. Syaikh Ahmad tersenyum melihat penampilanku. “Dengan topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong Kong saja. Tak tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al Azhar yang hafal Al-Qur’an.” “Syaikh ini bisa saja,” sahutku sambil tersenyum, “mohon doanya. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.” Di luar masjid, terik matahari dan gelombang angin panas langsung menyerang. Cepat-cepat kuayunkan kaki, berlari-lari kecil menuju mahathah metro yang berada tiga puluh lima meter di hadapanku. Ups, sampai juga akhirnya. Aku langsung menuju loket penjualan tiket. “Ya Kapten, wahid Shubra!” 19 seruku pada penjaga loket berkepala botak dan gemuk. Wajahnya penuh keringat, meskipun tepat di belakangnya ada kipas angin kecil berputar-putar. Ia tampak berkenan kusapa dengan kapten. Memang untuk menyapa lelaki yang tidak dikenal cukup memakai ‘ya kapten’ bisa juga ‘ya basya’ atau kalau agak tua ‘ya ammu’. Jika kira-kira sudah haji memakai ‘ya haj’.”
“Masyi ya Andonesy,” 20 jawab penjaga loket sambil mengulurkan karcis kecil warna kuning kepadaku. Ia mengambil uang satu pound yang kuberikan dan memberi kembalian 20 piesters. Di pintu masuk karcis aku masukkan untuk membuka pintu penghalang. Setelah melewati pintu penghalang karcis itu kuambil lagi. Sebab tanpa karcis itu saya tidak akan bisa keluar di Shubra nanti. Dan jika ada pemeriksaan di dalam metro karcis itu harus aku tunjukkan. Jika tidak bisa menunjukkan, akan kena denda. Biasanya sepuluh pound. Itu pun setelah dimaki-maki oleh petugas pemeriksa. Bagi penduduk Mesir, khususnya Cairo, metro bisa dikatakan transportasi kebanggaan. Lumayan canggih. Mahattah bawah tanah yang ada di Attaba, Tahrir dan Ramsis kelihatan modern dan canggih. Itu wajar. Sebab arsiteknya, semuanya orang Perancis. Orang-orang Mesir sering menyombongkan diri begini, ‘Kalau Anda berada di mahattah metro Tahrir atau Ramsis itu sama saja Anda berada di salah satu mahattah metro kota Paris.’ Benarkah? Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah pergi ke Paris. Tapi aku pernah membaca sebuah majalah, memang ada stasiun bawah tanah di kota Paris yang dibuat bernuansa Mesir kuno. Dinding-dindingnya diukir dengan Hieroglyph, huruf-huruf Mesir kuno. Beberapa sisinya dihiasi dengan patung-patung dan simbol-simbol Mesir kuno, seperti tugu Alexandria, kunci pyramid yang sekilas tampak seperti salib, patung Tutankhmoun, Tutmosis, Ramses III, Amenophis III, Cleopatra dan lain sebagainya. Nuansa seperti itu sangat kental di mahattah metro Anwar Sadat-Tahrir, yang berada tepat di jantung kota Cairo. Sebuah metro biru kusam datang. Pintu-pintunya terbuka perlahan. Beberapa orang turun. Setelah itu, barulah para penumpang yang menunggu naik. Aku masuk gerbong nomor lima. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk. Dalam cuaca panas seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam, aku langsung mengedarkan pandangan mencari tempat duduk. Sayang, semua tempat duduk telah terisi. Bahkan ada lima penumpang yang berdiri. Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin ini terjadi? Di hari-hari biasa yang tidak panas saja seringkali ada tempat duduk kosong.
Aku mengerutkan kening. Dapat tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk berarti belum rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada kipas angin berputar-putar di atasnya. Namun kipas itu nyaris tak berguna. Udara panas yang diputar tetap saja panas. Metro melaju kencang. Udara yang masuk dari jendela juga panas. Padang pasir seperti mendidih. Semua penumpang basah oleh air peluh. Seorang pemuda berjenggot tipis yang berdiri tak jauh dari tempat aku berdiri memandangi diriku dengan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Ia mendekat dan mengulurkan tangannya. “Ana akhukum, 21 Ashraf,” ia memperkenalkan diri dengan sangat sopan. Ia menggunakan kalimat ‘akhukum’ berarti ia sangat yakin aku seorang muslim seperti dirinya. “Ana akhukum, Fahri,” jawabku. “Min Shin?” 22 Orang Mesir terlalu susah membedakan orang Asia Tenggara dengan orang China. “La. Ana Andonesy.” 23 Kami pun lantas berbincang-bincang. Mula-mula aku memancingnya dengan masalah bola. Orang Mesir paling suka berbicara masalah bola. Terutama membicarakan persaingan tiga klub besar Mesir yaitu Ahli, Zamalek dan Ismaili. Ia ternyata pendukung Zamalek. Dengan bangga ia berkata, “Syaikh Muhammad Jibril juga pendukung setia Zamalek.” Aku hanya tersenyum. Aku tidak perlu mempertanyakan lebih lanjut kebenaran kata-katanya. Tidak penting. Pendukung fanatik sebuah klub akan mencari banyak data untuk mendukung klub kesayangannya. Maka aku langsung menyambungnya dengan memuji kehebatan beberapa pemain andalan Zamalek. Terutama Hosam Hasan. Ia tampak senang. Tujuanku memang membuat dia merasa senang. Tak lebih. Aku merasa tak rugi membaca buku-buku Syaikh Abbas As-Sisi tentang bagaimana caranya mengambil hati orang lain. Pembicaraan terus melebar ke mana-mana. Ia sangat senang ketika tahu bahwa aku mahasiswa pascasarjana Al Azhar. Lebih kaget ketika ia tahu aku hendak ke Shubra untuk talaqqi pada Syaikh Utsman. Ia berkata, “Di Helwan saya belajar qiraah riwayat Imam Hafsh pada Syaikh Hasan yang tak lain adalah murid Syaikh Utsman. Berkali-kali Syaikh Hasan memintaku untuk ikut belajar qiraah sab’ah langsung pada Syaikh Utsman, tapi aku tak ada waktu. Aku sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Jadi, kau termasuk orang yang beruntung, orang Indonesia.” Metro terus berjalan. Tak terasa sudah sampai daerah Thakanat Maadi. “Akh Ashraf, kamu mau turun di mana?” tanyaku ketika metro perlahan berhenti dan beberapa orang bersiap turun. “Sayyeda Zaenab. Insya Allah.” Pintu metro terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi kosong. Kalau mau, aku bisa mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang bapak setengah baya masih berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat ada dua bangku kosong. Kupersilakan dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih. Kursi masih kosong satu. Sangat dekat denganku. Kupersilakan Ashraf duduk. Dia tidak mau, malah memaksaku duduk. Tiba-tiba mataku menangkap seorang perempuan berabaya biru tua, dengan jilbab dan cadar biru muda naik dari pintu yang satu, bukan dari pintu dekat yang ada di dekatku. Kuurungkan niat untuk duduk. Masih ada yang lebih berhak. Perempuan bercadar itu kupanggil dengan lambaian tangan. Ia paham maksudku. Ia mendekat dan duduk dengan mengucapkan, “Syukran!” Metro atau kereta listrik terus melaju. Ashraf kembali mengajakku berbincang. Kali ini tentang Amerika. Ia geram sekali pada Amerika. Seribu alasan ia beberkan. Kata-katanya menggebu seperti Presiden Gamal Abdul Naser berorasi memberi semangat dunia Arab dalam perang 1967. “Ayatollah Khomeini benar, Amerika itu setan! Setan harus dienyahkan!” katanya berapi-api. Orang Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara ia merasa paling benar sendiri. Aku diam saja. Kubiarkan Ashraf berbicara sepuaspuasnya. Hanya sesekali, pada saat yang tepat aku menyela. Sesekali aku menyapukan pandangan melihat keadaan sekeliling. Juga ke luar jendela agar tahu metro sudah melaju sampai di mana. Sekilas ujung mataku menangkap perempuan bercadar biru mengeluarkan mushaf dari tasnya, dan membacanya dengan tanpa suara. Atau mungkin dengan suara tapi sangat lirih sehingga aku tidak mendengarnya. Orang-orang membaca Al-Qur’an di metro, di bis, di stasiun dan di terminal adalah pemandangan yang tidak aneh di Cairo. Apalagi jika bulan puasa tiba. Metro sampai di Maadi, kawasan elite di Cairo setelah Heliopolis, Dokki, El-Zamalek dan Mohandesen. Sebagian orang malah mengatakan Maadi adalah kawasan paling elite. Lebih elite dari Heliopolis. Tidak terlalu penting membandingkan satu sama lain. Nama-nama itu semuanya nama kawasan elite. Masing-masing punya kelebihan. Dokki terkenal sebagai tempatnya para diplomat tinggal. Mohandesen tempatnya para pengusaha dan selebritis. Sedangkan Maadi mungkin adalah kawasan yang paling teratur tata kotanya. Dirancang oleh kolonial Inggris. Jalan-jalannya lebar. Setiap rumah ada tamannya. Dan dekat sungai Nil. Tinggal di Maadi memiliki prestise sangat tinggi. Prestise-nya seumpama tinggal di Paris dibandingkan dengan tinggal di kota-kota besar lainnya di Eropa. Itu keterangan yang aku dapat dari Tuan Boutros, ayahnya Maria yang bekerja di sebuah bank swasta di Maadi. Masalah prestise memang sangat subjektif. Orang yang tinggal di kawasan agak kumuh Sayyeda Zaenab merasa lebih prestise dibandingkan dengan tinggal di kawasan lain di Cairo. Alasan mereka karena dekat dengan makam Sayyeda Zaenab, cucu Baginda Nabi Saw. Demikian juga yang tinggal di dekat masjid Amru bin Ash. Mereka merasa lebih beruntung dan selalu bangga bisa tinggal di dekat masjid pertama yang didirikan di benua Afrika itu. Begitu pintu metro terbuka, beberapa penumpang turun. Lalu beberapa orang naik-masuk. Mataku menangkap ada tiga orang bule masuk. Yang seorang nenek-nenek. Ia memakai kaos dan celana pendek sampai lutut. Wajahnya tampak pucat. Mungkin karena kepanasan. Ia diiringi seorang pemuda dan seorang perempuan muda. Mungkin anaknya atau cucunya. Keduanya memakai ransel. Pemuda bule itu memakai topi berbendera Amerika dan berkaca mata hitam. Ia juga hanya berkaos sport putih dan celana pendek sampai lutut. Yang perempuan memakai kaos ketat tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek ketat. Semua bagian tubuhnya menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian pusarnya kelihatan. Ia seperti tidak berpakaian. Mereka berdua mengitarkan pandangan. Mencari tempat duduk. Sayang, tak ada yang kosong. Beberapa orang justru berdiri termasuk diriku. Aku tersenyum pada Ashraf sambil berkata, “Ashraf kau mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?” “Apa maksudmu?” “Itu, mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah kembali ke Amerika. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden mereka tidak bertindak bodoh seperti yang kau katakan tadi.” Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak senang. Tiba-tiba ia berteriak, “Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum!” 24 Kontan para penumpang yang mendengar perkataan Ashraf itu melongok ke arah tiga bule yang baru masuk itu. Gerakan persis anak-anak ayam yang kaget atas kedatangan musang di kandangnya. Kusisir wajah orang-orang Mesir. Rautraut kurang simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian perempuan muda Amerika itu bisa dikatakan tidak sopan. Orang-orang Mesir memang menganggap Amerika sebagai biang kerusakan di Timur Tengah. Orang-orang Mesir sangat marah pada Amerika yang mencoba mengadu domba umat Islam dengan umat Kristen Koptik. Amerika pernah menuduh pemerintah Mesir dan kaum muslimin berlaku semenamena pada umat Koptik. Tentu saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk Mesir. Bapa Shnouda, pemimpin tertinggi dan kharismatik umat Kristen Koptik serta merta memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka. Sebuah tuduhan yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan umat Islam dan umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya di bumi Kinanah. 25 Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa Arab. Mereka kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang diucapkan Ashraf. Memang, kalau sedang jengkel orang Mesir bisa mengatakan apa saja. Di pasar Sayyeda Zainab aku pernah melihat seorang penjual ikan marah-marah pada isterinya. Entah karena apa. Ia menghujani isterinya dengan sumpah serapah yang sangat kasar dan tidak nyaman di dengar telinga. Di antara kata-kata kasar yang kudengar adalah: Ya bintal haram, ya syarmuthah, ya bintal khinzir...! 26 Bulu romaku sampai berdiri. Ngeri mendengarnya. Sang isteri juga tak mau kalah. Ia membalas dengan caci maki dan serapah yang tak kalah keras dan kotornya. Dan sumpah serapah yang mengandung laknat adalah termasuk paling kasar. Telingaku paling tidak suka mendengar caci mencaci, apalagi umpatan melaknat. Tak ada yang berhak melaknat manusia kecuali Tuhan. Manusia jelasjelas telah dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa membedakan siapa pun dia. Semua manusia telah dimuliakan Tuhan sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an, Wa laqad karramna banii Adam. Dan telah Kami muliakan anak keturunan Adam! Jika Tuhan telah memuliakan manusia, kenapa masih ada manusia yang mencaci dan melaknat sesama manusia? Apakah ia merasa lebih tinggi martabatnya daripada Tuhan? Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan. Tindakannya jauh dari etika Al-Qur’an, padahal dia tiap hari membaca Al-Qur’an. Ia telah menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia berhenti pada cara membacanya saja, tidak sampai pada penghayatan ruh kandungannya. Semoga Allah memberikan petunjuk di hatinya. Yang aku herankan, dalam kondisi panas seperti ini, kenapa bule-bule itu ada di dalam metro. Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai limousin atau taksi yang ber-AC. Dalam hati aku merasa kasihan pada mereka. Mereka seperti tersiksa. Basah oleh keringat. Wajah dan kulit mereka kemerahan. Yang paling kasihan adalah yang nenek-nenek. Beberapa kali ia menenggak air mineral. Mukanya tetap saja pucat. Mereka tidak biasa kepanasan seperti ini. Aku jadi teringat Majidov, teman dari Rusia. Ia sangat tidak tahan dengan panasnya Mesir. Ia tinggal di Madinatul Bu’uts, atau biasa disebut Bu’uts saja. Yaitu asrama mahasiswa Al Azhar dari seluruh penjuru dunia. Di Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika musim panas tiba dia akan hengkang dari Bu’uts dan menyewa flat bersama beberapa temannya di kawasan Rab’ah El-Adawea. Mencari yang ada AC-nya. Tapi tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti Majidov. Banyak juga yang tahan dengan musim panas. Tak ada yang bergerak mempersilakan nenek bule itu untuk duduk. Ini yang aku sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya yang masih kuat tetap saja tidak mau berdiri dari tempat duduk mereka. Biasanya, begitu melihat orang tua, apalagi nenek-nenek, beberapa orang langsung berdiri menyilakan duduk. Tapi kali ini tidak. Lelaki bule itu mengajak bicara seorang pemuda Mesir berbaju kotak-kotak lengan pendek yang duduk di dekatnya. Sekilas di antara deru metro kutangkap maksud perkataan si bule. Ia minta kepada pemuda Mesir itu memberi kesempatan pada ibunya yang sudah tua untuk duduk. Mereka bertiga akan turun di Tahrir. Tapi pemuda Mesir itu sama sekali tidak menanggapinya. Entah kenapa. Apa karena dia tidak paham bahasa Inggris, atau karena ketidaksukaannya pada orang Amerika? Aku tidak tahu. Nenek bule itu kelihatannya tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk menggelosor di lantai. Belum sampai nenek bule itu benar-benar menggelosor, tiba-tiba perempuan bercadar yang tadi kupersilakan duduk itu berteriak mencegah, “Mom, wait! Please, sit down here!” Perempuan bercadar biru muda itu bangkit dari duduknya. Sang nenek dituntun dua anaknya beranjak ke tempat duduk. Setelah si nenek duduk, perempuan bule muda berdiri di samping perempuan bercadar. Aku melihat pemandangan yang sangat kontras. Sama-sama perempuan. Yang satu auratnya tertutup rapat. Tak ada bagian dari tubuhnnya yang membuat jantung lelaki berdesir. Yang satunya memakai pakaian sangat ketat, semua lekak-lekuk tubuhnya kelihatan, ditambah basah keringatnya bule itu nyaris seperti telanjang. “Thank you. It’s very kind of you!” Perempuan bule muda mengungkapkan rasa terima kasih pada perempuan bercadar. “You’re welcome,” lirih perempuan bercadar. Bahasa Inggrisnya bagus. Sama sekali tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang. Perempuan bercadar minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang mungkin kurang ramah. Ternyata lebih dari yang kunilai. Perempuan bercadar itu benarbenar berbicara sefasih orang Inggris. Biasanya orang Mesir sangat susah berbahasa Inggris dengan fasih. Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan ‘bren’. Huruf ‘f’ jadi ‘b’. Aku sering geli mendengarnya. Tapi perempuan bercadar ini sungguh fasih. Lebih fasih dari pembaca berita Nile TV. Perempuan bule tersenyum dan berkata, “Oh not at all. It’s all right. Cuaca memang panas dan melelahkan. Semuanya lelah. Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan itu sangat manusiawi.” “Busyit! Hei perempuan bercadar, apa yang kau lakukan!” Pemuda berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka merah. Ia berdiri tepat di samping perempuan bercadar dan membentaknya dengan kasar. Rupanya ia mendengar dan mengerti percakapan mereka berdua. Perempuan bercadar kaget. Namun aku tidak bisa menangkap raut kagetnya sebab mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap adalah gerakan kepalanya yang terperangah, kedua matanya yang sedikit menciut, kulit putih antara dua matanya sedikit mengkerut, alisnya seperti mau bertemu. “Hal a..ana khata’?” 27 Ucap perempuan bercadar tergagap. Ia memakai bahasa fusha 28, bukan bahasa ‘amiyah.29 Maksudnya bisa dipahami, tapi susunannya janggal. Apakah mungkin karena dirinya terlalu kaget atas bentakan pemuda Mesir itu. Mendengar jawaban seperti itu si pemuda malah semakin naik pitam. Ia kembali membentak dan memaki-maki secara kasar dengan bahasa ‘amiyah, “Yakhrab baitik! 30 Kau telah menghina seluruh orang Mesir yang ada di metro ini. Kau sungguh keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar, sok alim, tapi sebetulnya kau perempuan bangsat! Kau kira kami tidak tahu sopan-santun apa? Sengaja kami mengacuhkan orang Amerika itu untuk sedikit memberi pelajaran. Ee..bukannya kau mendukung kami. Kau malah mempersilakan setan-setan bule itu duduk. Dan seolah paling baik, kau sok jadi pahlawan dengan memintakan maaf atas nama kami semua. Kau ini siapa, heh?”
Pemuda itu sudah keterlaluan. Aku berharap ada yang bertindak. Ashraf dan seorang lelaki setengah baya berpakaian abu-abu mendekati pemuda dan perempuan bercadar. Aku sedikit lega. “Kau memang sungguh kurang ajar perempuan! Kau membela bule-bule Amerika yang telah membuat bencana di mana-mana. Di Afganistan. Di Palestina. Di Irak dan di mana-mana. Mereka juga tiada henti-hentinya menggoyang negara kita. Kau ini muslimah macam apa, hah!?” Ashraf marah sambil menuding-nuding perempuan bercadar itu. Aku kaget bukan main. Aku tak mengira Ashraf akan berkata sekasar itu. Kelegaanku berubah jadi kekecewaan mendalam. “Meski kau bercadar dan membawa mushaf ke mana-mana, nilaimu tak lebih dari seorang syarmuthah!” 31 umpat lelaki berpakaian abu-abu. Ini sudah keterlaluan. Menuduh seorang perempuan baik-baik sehina pelacur tidak bisa dibenarkan. Aku membaca istighfar dan shalawat berkali-kali. Aku sangat kecewa pada mereka. Perempuan bercadar itu diam seribu bahasa. Matanya berkaca-kaca. Bentakan, cacian, tudingan dan umpatan yang ditujukan padanya memang sangat menyakitkan. Aku tak bisa diam. Kucopot topi yang menutupi kopiah putihku. Lalu aku mendekati mereka sambil mencopot kaca mata hitamku. “Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan nabi!” 32 ucapku pada mereka sehalus mungkin. Cara menurunkan amarah orang Mesir adalah dengan mengajak membaca shalawat. Entah riwayatnya dulu bagaimana. Di mana-mana, di seluruh Mesir, jika ada orang bertengkar atau marah, cara melerai dan meredamnya pertama-tama adalah dengan mengajak membaca shalawat. Shalli ‘alan nabi, artinya bacalah shalawat ke atas nabi. Cara ini biasanya sangat manjur. Benar, mendengar ucapanku spontan mereka membaca shalawat. Juga para penumpang metro lainnya yang mendengar. Orang Mesir tidak mau dikatakan orang bakhil. Dan tiada yang lebih bakhil dari orang yang mendengar nama nabi, atau diminta bershalawat tapi tidak mau mengucapkan shalawat. Begitu penjelasan Syaikh Ahmad waktu kutanyakan ihwal cara aneh orang Mesir dalam meredam amarah. Justru jika ada orang sedang marah lantas kita bilang padanya, La taghdhab! (yang artinya: jangan marah!) terkadang malah akan membuat ia semakin marah. Lalu aku menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar. Bukanya menghina orang Mesir, justru sebaliknya. Dan umpatan-umpatan yang ditujukan padanya itu sangat tidak sopan dan tidak bisa dibenarkan. Aku beberkan alasan-alasan kemanusiaan. Mereka bukannya sadar, tapi malah kembali naik pitam. Si pemuda marah dan mencela diriku dengan sengit. Juga si bapak berpakaian abu-abu. Sementara Ashraf bilang, “Orang Indonesia, sudahlah, kau jangan ikut campur urusan kami!” Aku kembali mengajak mereka membaca shalawat. Aku nyaris kehabisan akal. Akhirnya kusitir beberapa hadits nabi untuk menyadarkan mereka. Tapi orang Mesir seringkali muncul besar kepalanya dan merasa paling menang sendiri. Pemuda Mesir malah menukas sengak, “Orang Indonesia, kau tahu apa sok mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab saja baru kemarin sore. Juz Amma entah hafal entah tidak. Sok pintar kamu! Sudah kau diam saja, belajar baik-baik selama di sini dan jangan ikut campur urusan kami!” Aku diam sesaat sambil berpikir bagaimana caranya menghadapi anak turun Fir’aun yang sombong dan keras kepala ini. Aku melirik Ashraf. Mata kami bertatapan. Aku berharap dia berlaku adil. Dia telah berkenalan denganku tadi. Kami pernah akrab meskipun cuma sesaat. Kupandangi dia dengan bahasa mata mencela. Ashraf menundukkan kepalanya, lalu berkata, “Kapten, kau tidak boleh berkata seperti itu. Orang Indonesia ini sudah menyelesaikan licence-nya di Al Azhar. Sekarang dia sedang menempuh program magisternya. Walau bagaimana pun, dia seorang Azhari. Kau tidak boleh mengecilkan dia. Dia hafal Al-Qur’an. Dia murid Syaikh Utsman Abdul Fattah yang terkenal itu.” Pembelaan Ashraf ini sangat berarti bagiku. Pemuda berbaju kotak-kotak itu melirik kepadaku lalu menunduk. Mungkin dia malu telah berlaku tidak sopan kepadaku. Tetapi lelaki berpakaian abu-abu kelihatannya tidak mau menerima begitu saja.
“Dari mana kau tahu? Apa kau teman satu kuliahnya?” tanyanya. Ashraf tergagap, “Tidak. Aku tidak teman kuliahnya. Aku tahu saat berkenalan dengannya tadi.” “Kau terlalu mudah percaya. Bisa saja dia berbohong. Program magister di Al Azhar tidak mudah. Jadi murid Syaikh Utsman juga tidak mudah.” Lelaki itu mencela Ashraf. Dia lalu berpaling ke arahku dan berkata, “Hei orang Indonesia, kalau benar kau S.2. di Al Azhar mana kartumu!?” Lelaki itu membentak seperti polisi intel. Berurusan dengan orang awam Mesir yang keras kepala memang harus sabar. Tapi jika mereka sudah tersentuh hatinya, mereka akan bersikap ramah dan luar biasa bersahabat. Itulah salah satu keistimewaan watak orang Mesir. Terpaksa kubuka tas cangklongku. Kuserahkan dua kartu sekaligus. Kartu S.2. Al Azhar dan kartu keanggotaan talaqqi qiraah sab’ah dari Syaikh Utsman. Tidak hanya itu, aku juga menyerahkan selembar tashdiq 33 resmi dari universitas. Tasdiq yang akan kugunakan untuk memperpanjang visa Sabtu depan. Lelaki setengah baya lalu meneliti dua kartu dan tashdiq yang masih gres itu dengan seksama. Ia manggut-manggut, kemudian menyerahkannya pada pemuda berbaju kotak-kotak yang keras kepala yang ada di sampingnya. “Kebetulan saat ini saya sedang menuju masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai Syaikh Utsman boleh menyertai saya.” Ujarku tenang penuh kemenangan. Kulihat wajah mereka tidak sepitam tadi. Sudah lebih mencair. Bahkan ada gurat rasa malu pada wajah mereka. Jika kebenaran ada di depan mata, orang Mesir mudah luluh hatinya. “Maafkan kelancangan kami, Orang Indonesia. Tapi perempuan bercadar ini tidak pantas dibela. Ia telah melakukan tindakan bodoh!” kata pemuda Mesir berbaju kotak-kotak sambil menyerahkan kembali dua kartu dan tashdiq kepadaku.
Aku menghela nafas panjang. Metro melaju kencang menembus udara panas. Sesekali debu masuk berhamburan. “Terus terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian tidak seperti yang digambarkan baginda Nabi. Beliau pernah bersabda bahwa orangorang Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau memerintahkan kepada shahabatnya, jika kelak membuka bumi Mesir hendaknya bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata kalian sangat kasar. Aku yakin kalian bukan asli orang Mesir. Mungkin kalian sejatinya sebangsa Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi yang ramah dan pemurah,” ucapku datar. Aku yakin akan membuat hati orang Mesir yang mendengarnya bagaikan tersengat aliran listrik. “Maafkan kami, Orang Indonesia. Kami memang emosi tadi. Tapi jangan kau katakan kami bukan orang Mesir. Jangan pula kau katakan kami ini sebangsa Bani Israel. Kami asli Mesir. Kami satu moyang dengan Syaikh Sya’rawi rahimahullah,” lelaki setengah baya itu tidak terima. Syaikh Sya’rawi memang seorang ulama yang sangat merakyat. Sangat dicintai orang Mesir. Hampir semua orang Mesir mengenal dan mencintai beliau. Mereka sangat bangga memiliki seorang Sya’rawi yang dihormati di seantero penjuru Arab. “Yang aku tahu, selama ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu. Orang Mesir asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih sayang. Sifat mereka seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub. Syaikh Sya’rawi, Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Muhammad Hasan, Syaikh Kisyk, Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea Shaqr, Syaikh Ismail Diftar, Syaikh Utsman dan ulama lainnya adalah contoh nyata orang Mesir asli yang berhati lembut, sangat memuliakan tamu dan sangat memanusiakan manusia. Tapi apa yang baru saja kalian lakukan?! Kalian sama sekali tidak memanusiakan manusia dan tidak punya rasa hormat sedikit pun pada tamu kalian. Orang bule yang sudah nenek-nenek itu adalah tamu kalian. Mereka bertiga tamu kalian. Tetapi kenapa kalian malah melaknatnya. Dan ketika saudari kita yang bercadar ini berlaku sebagai seorang muslimah sejati dan sebagai seorang Mesir yang ramah, kenapa malah kalian cela habis-habisan!? Kalian bahkan menyumpahinya dengan perkataan kasar yang sangat menusuk perasaan dan tidak layak diucapkan oleh mulut orang yang beriman! ” “Tapi Amerika sudah keterlaluan! Apa salah jika kami sedikit saja mengungkapkan kejengkelan kami dengan memberi pelajaran sedikit saja pada orang-orang Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih berusaha membenarkan tindakannya. Aku tidak merasa aneh. Begitulah orang Mesir, selalu merasa benar. Dan nanti akan luluh jika berhadapan dengan kebenaran yang seterang matahari. “Kita semua tidak menyukai tindak kezhaliman yang dilakukan siapa saja. Termasuk yang dilakukan Amerika. Tapi tindakan kalian seperti itu tidak benar dan jauh dari tuntunan ajaran baginda Nabi yang indah.” “Lalu kami harus berbuat apa dan bagaimana? Ini mumpung ada orang Amerika. Mumpung ada kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan tahu bahwa kami tidak menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau pulang ke negaranya mereka bercerita pada tetangganya bagaimana tidak sukanya kami pada mereka!” “Justru tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak ini akan menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang Islam kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal baginda Rasul mengajarkan kita menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya. Mereka bertiga adalah tamu di bumi Kinanah ini. Harus dihormati sebaik-baiknya. Itu jika kalian merasa beriman kepada Allah dan hari akhir. Jika tidak, ya terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan. Tapi jangan sekali-kali kalian menamakan diri kalian bagian dari umat Islam. Sebab tindakan kalian yang tidak menghormati tamu itu jauh dari ajaran Islam.” Lelaki setengah baya itu diam. Pemuda berbaju kotak-kotak menunduk. Ashraf membisu. Para penumpang yang lain, termasuk perempuan bercadar juga diam. Metro terus berjalan dengan suara bergemuruh, sesekali mencericit. “Coba kalian jawab pertanyaanku ini. Kenapa kalian berani menyakiti Rasulullah?!” tanyaku sambil memandang ketiga orang Mesir bergantian. Mereka agak terkejut mendengar pertanyaanku itu.
“Akhi, mana mungkin kami berani menyakiti Rasulullah yang kami cintai,” jawab Ashraf. “Kenapa kalian kelak di hari akhir berani berseteru di hadapan Allah melawan Rasulullah?” tanyaku lagi. “Akhi, kau melontarkan pertanyaan gila. Kita semua di hari akhir kelak mengharap syafaat Rasulullah, bagaimana mungkin kami berani berseteru dengan beliau di hadapan Allah!” jawab Ashraf. “Tapi kalian telah melakukan tindakan sangat lancang. Kalian telah menyakiti Rasulullah. Kalian telah menantang Rasulullah untuk berseteru di hadapan Allah kelak di hari akhir!” ucapku tegas sedikit keras. Lelaki setengah baya, Ashraf, pemuda berbaju kotak-kotak dan beberapa penumpang metro yang mendengar ucapanku semuanya tersentak kaget. “Apa maksudmu, Andonesy? Kau jangan bicara sembarangan!” jawab lelaki setengah baya sedikit emosi. “Paman, aku tidak berkata sembarangan. Aku akan sangat malu pada diriku sendiri jika berkata dan bertindak sembarangan. Baiklah, biar aku jelaskan. Dan setelah aku jelaskan kalian boleh menilai apakah aku berkata sembarangan atau bukan. Harus kalian mengerti, bahwa ketiga orang bule ini selain tamu kalian mereka sama dengan ahlu dzimmah. Tentu kalian tahu apa itu ahlu dzimmah. Disebut ahlu dzimmah karena mereka berada dalam jaminan Allah, dalam jaminan Rasul-Nya, dan dalam jaminan jamaah kaum muslimin. Ahlu dzimmah adalah semua orang non muslim yang berada di dalam negara tempat kaum muslimin secara baik-baik, tidak ilegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidakkah kalian dengar sabda beliau, ‘Barangsiapa menyakiti orang zhimmi (ahlu zhimmah) maka aku akan menjadi seterunya. Dan siapa yang aku menjadi seterunya dia pasti kalah di hari kiamat.’ 34 Beliau juga memperingatkan, ‘Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah.’ 35 Begitulah Islam mengajarkan bagaimana memperlakukan non muslim dan para tamu asing yang masuk secara resmi dan baik-baik di negara kaum muslimin. Imam Ali bahkan berkata, ‘Begitu membayar jizyah, harta mereka menjadi sama harus dijaganya dengan harta kita, darah mereka sama nilainya dengan darah kita.’ Dan para turis itu telah membayar visa dan ongkos administrasi lainnya, sama dengan membayar jizyah. Mereka menjadi tamu resmi, tidak ilegal, maka harta, kehormatan dan darah mereka wajib kita jaga bersamasama. Jika tidak, jika kita sampai menyakiti mereka, maka berarti kita telah menyakiti baginda Nabi, kita juga telah menyakiti Allah. Kalau kita telah lancang berani menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka siapakah diri kita ini? Masih pantaskan kita mengaku mengikuti ajaran baginda Nabi?” Lelaki setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar berkali-kali. Lalu mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mengecup kepalaku sambil berkata, “Allah yaftah ‘alaik, ya bunayya! Allah yaftah ‘alaik! Jazakallah khaira!” 36 Ia telah tersentuh. Hatinya telah lembut. Setelah itu giliran Ashraf merangkulku. “Senang sekali aku bertemu dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya. Aku tersenyum, ia pun tersenyum. Pemuda berbaju kotak-kotak lalu mempersilakan pria bule yang berdiri di dekat neneknya untuk duduk di tempat duduknya. Dua pemuda Mesir yang duduk di depan nenek bule berdiri dan mempersilakan pada perempuan bercadar dan perempuan bule untuk duduk. Begitulah. Salah satu keindahan hidup di Mesir adalah penduduknya yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah meledak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda dan hilang tanpa bekas. Tak ada dendam di belakang yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja. Metro terus melaju. Tak terasa sudah sampai mahattah Mar Girgis. Ashraf mendekatkan diri ke pintu. Ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik ElSaleh, setelah itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana. Aku menghitung masih ada tujuh mahattah baru sampai di Ramsis. Setelah itu aku akan pindah metro jurusan Shubra El-Khaima. Perjalanan masih jauh. Metro kembali berjalan. Pelan-pelan lalu semakin kencang. Tak lama kemudian sampai di El-Malik ElSaleh. Metro berhenti. Pintu dibuka. Beberapa orang turun. Lelaki setengah baya hendak turun. Sebelum turun ia menyalami diriku dan mengucapkan terima kasih sambil mulutnya tiada henti mendoakan diriku. Aku mengucapkan amin berkalikali. Topi dan kaca mata hitamku kembali aku pakai. Tak jauh dariku, perempuan bercadar nampak asyik berbincang dengan perempuan bule. Sedikit-sedikit telingaku menangkap isi perbincangan mereka. Rupanya perempuan bercadar sedang menjelaskan semua yang tadi terjadi. Kejengkelan orang-orang Mesir pada Amerika. Kekeliruan mereka serta pembetulan-pembetulan yang aku lakukan. Perempuan bercadar juga menjelaskan maksud dari hadits-hadits nabi yang tadi aku ucapkan dengan bahasa Inggris yang fasih. Perempuan bule itu menganggukanggukkan kepala. Sampai di Sayyeda Zeinab, Ashraf turun setelah terlebih dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang ibu yang duduk di samping nenek bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di sana kalau mau. Tapi kulihat seorang gadis kecil membawa tas belanja masuk. Langsung kupersilakan dia duduk. Metro kembali melaju. Perempuan bercadar dan perempuan bule masih berbincang-bincang dengan akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan. Angin panas masuk melalui jendela. Aku memandang ke luar. Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak tak teratur seperti kardus bertumpukan tak teratur. Metro masuk ke lorong bawah tanah. Suasana gelap sesaat. Lalu lampu-lampu metro menyala. Tak lama kemudian metro sampai mahattah Saad Zaghloul dan berhenti. Beberapa orang turun dan naik. Tiga bule itu bersiap hendak turun, juga perempuan bercadar. Berarti mereka mau turun di Tahrir. Perempuan bercadar masih bercakap dengan perempuan bule. Keduanya sangat dekat denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Tentang asal mereka masing. Perempuan bercadar itu ternyata lahir di Jerman, dan besar juga di Jerman. Namun ia berdarah Jerman, Turki dan Palestina. Sedangkan perempuan bule lahir dan besar di Amerika. Ia berdarah Inggris dan Spanyol. Keduanya bertukar kartu nama. Perempuan bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap perempuan bercadar. Metro bercericit mengerem. Gerbong sedikit goyang. Tubuh perempuan bule bergoyang. Saat itulah dia melihat diriku. Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata, “Hai Indonesian, thank’s for everything. My name’s Alicia.” “Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya. “Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain isteri dan mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah faham. Alicia tersenyum dan berseloroh, “Oh, never mind. And this is my name card, for you.” Ia memberikan kartu namanya. “Thank’s,” ujarku sambil menerima kartu namanya. “It’s a pleasure.” Metro berhenti. Alicia, neneknya dan saudaranya mendekati pintu hendak keluar. Perempuan bercadar masih berdiri di tempatnya. Ia melihat ke arah orang-orang yang hendak turun. Perlahan pintu dibuka. Ketika orang-orang mulai turun, perempuan bercadar itu bergerak melangkah, ia menyempatkan untuk menyapaku, “Indonesian, thank you.” Aku teringat dia orang Jerman. Aku iseng menjawab dengan bahasa Jerman, “Bitte!” Agaknya perempuan bercadar itu kaget mendengar jawabanku dengan bahasa Jerman. Ia urung melangkah ke pintu. Ia malah menatap diriku dengan sorat mata penuh tanda tanya.
“Sprechen Sie Deutsch?” 37 tanyanya dengan bahasa Jerman. Ia mungkin ingin langsung meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi ia dengarkan dariku benar-benar bahasa Jerman. Bahwa aku bisa berbahasa Jerman. Bahwa ia tidak salah dengar. “Ja, ein wenig. 38 Alhamdulillah!” jawabku tenang. Kalau sekadar bercakap dengan bahasa Jerman insya Allah tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh membuat tesis dengan bahasa Jerman baru menyerah. “Sind Sie Herr Fahri?” 39 Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia bertanya seperti itu. Berarti ia benar-benar mendengarkan dengan baik pendebatanku dengan tiga orang Mesir tadi sehingga tahu namaku. Atau dia mendengarkan aku berkenalan dengan Alicia. “Ja. Mein name ist Fahri.” 40 Jawabku. “Mein name ist Aisha,” sahutnya sambil menyerahkan kartu nama. Ia lalu menyodorkan buku notes kecil dan pulpen. “Bitte, schreiben Sie ihren namen!” 41 katanya. Kuterima buku notes kecil dan pulpen itu. Aku paham maksud Aisha, tentu tidak sekadar nama tapi dilengkapi dengan alamat atau nomor telpon. Masinis metro membunyikan tanda alarm bahwa sebentar lagi pintu metro akan ditutup dan metro akan meneruskan perjalanan. Aku hanya menuliskan nama dan nomor handphone-ku. Lalu kuserahkan kembali padanya. Aisha langsung bergegas turun sambil berkata, “Danke, auf wiedersehn!” 42 “Auf wiedersehn!” jawabku. Metro kembali berjalan. Ada tempat kosong. Saatnya aku duduk. Sudah separuh perjalanan lebih. Sudah setengah dua lebih lima menit. Waktu masih cukup. Insya Allah sampai di hadapan Syaikh Utsman tepat pada waktunya. Kalaupun terlambat hanya beberapa menit saja. Masih dalam batas yang bisa dimaafkan. Dengan duduk aku merasa lebih tenang. Ini saatnya aku mengulang dan memperbaiki hafalan Al-Qur’an yang akan aku setorkan pada Syaikh Utsman.

0 comments

Post a Comment